Kelas Bu Novi

Kelas Bu Novi
Kelas Bu Novi

Peranan Agama Buddha dalam mewujudkan Perdamaian Dunia

 Buddha sebagai Tokoh Pelopor Perdamaian

Dalam sejarah sosil politik semasa Buddha, Buddha selalu tidak membenarkan terjadinya pemakaian kekerasan atau peperangan. Ketika Vidudhaba, putra Raja Pasenadi dari Kosala menyerbu Kapilavasthu dengan empat divisi prajurit, dan ketika ia akan melewati Buddha yang sedang bermeditasi di bawah pohon yang sudah layu, Vidudhaba bertanya kepada Sang Putra Sakya itu:

“Mengapa anda duduk di bawah pohon yang sudah layu ini, sedangkan ada banyak pohon yang tumbuh penuh dengan dedaunan dan banyak cabangnya?” Buddha menjawab: “Naungan rasa persaudaraan lebih mulia daripada naungan rasa permusuhan.”
Begitu pula dengan Ajatasattu. Ketika Raja Ajatasattu, putra Bimbisara dari Magadha hendak menyerang Vajjis, negara tetangganya, ia meminta saran terlebih dahulu kepada Buddha lewat pendeta Vassakara.

Kemudian Buddha mengingatkannya untuk tidak mengobarkan peperangan, tidak mempergunakan kekerasan, melainkan sebaliknya menjalankan politik tanpa kekerasan yakni dengan menekankan untuk bermusyawarah dan mematuhi semua ketentuan perdamaian yang telah diberlakukan. (Maha Paninibbana Sutta).

Peranan Agama Buddha Untuk Memelihara Perdamaian

Pada dasarnya, menurut ajaran Budha, prinsip-prinsip etika dan moral diatur dengan memeriksa apakah suatu tindakan tertentu, apakah terhubung ke tubuh atau pidato yang mungkin membahayakan diri sendiri atau untuk orang lain dan dengan demikian menghindari tindakan yang mungkin berbahaya. Dalam Buddhisme, ada banyak pembicaraan dari pikiran yang terampil. Batin yang terampil menghindari tindakan yang mungkin menyebabkan penderitaan atau penyesalan.

Perilaku moral bagi umat Buddha berbeda berdasarkan apakah itu berlaku untuk kaum awam atau kepada Sangha atau ulama. Seorang Buddhis awam harus mengembangkan perilaku yang baik dengan pelatihan dalam apa yang dikenal sebagai "Lima Sila". Ini tidak seperti, katakanlah, sepuluh perintah, yang, jika rusak, memerlukan hukuman oleh Allah. Kelima sila adalah pelatihan aturan, yang, jika satu orang untuk memecahkan salah satu dari mereka, orang harus menyadari sungsang dan meneliti bagaimana suatu sungsang dapat dihindari di masa depan. Resultan dari suatu tindakan (sering disebut sebagai Karma) tergantung pada niat lebih dari tindakan itu sendiri. Hal ini menuntut perasaan kurang bersalah dari Yahudi-Kristen pasangannya. Buddhisme menempatkan penekanan besar pada 'pikiran' dan itu adalah penderitaan mental seperti penyesalan, dll kecemasan rasa bersalah yang harus dihindari untuk menanam pikiran yang tenang dan damai. Kelima sila adalah:

1.           Latihan untuk menghindari mengambil kehidupan makhluk. Ajaran ini berlaku untuk semua makhluk hidup bukan hanya manusia. Semua makhluk memiliki hak untuk hidup mereka dan hak yang harus dihormati.

2.                  Latihan untuk menghindari hal-hal yang tidak diberikan. Resep ini berjalan lebih jauh dari sekadar mencuri. Orang harus menghindari mengambil apa-apa kecuali satu hal yang pasti yang dimaksudkan bahwa itu adalah untuk Anda.

3.                  Latihan untuk menghindari kesalahan sensual ajaran ini sering salah menerjemahkan atau disalahartikan sebagai berkaitan hanya untuk perbuatan asusila tapi. Mencakup setiap pemakaian yg berlebihan dalam kenikmatan sensual seperti kerakusan serta pelanggaran yang bersifat seksual.

4.                  Lalatihan untuk menahan diri dari ucapan salah. Selain menghindari berbohong dan menipu, ajaran ini mencakup fitnah serta pidato yang tidak bermanfaat bagi kesejahteraan orang lain.

5.                  Latih diri untuk tidak zat yang menyebabkan mabuk dan lemahnya kesadaran. Ajaran ini dalam kategori khusus karena tidak menyimpulkan kejahatan apapun intrinsik dalam, katakanlah, alkohol itu sendiri tapi mengumbar seperti zat bisa menjadi penyebab melanggar lainnya empat ajaran. Ini adalah ajaran dasar diharapkan sebagai hari untuk pelatihan hari dari setiap Buddha awam. Pada hari-hari suci khusus, banyak umat Buddha, terutama yang mengikuti tradisi Theravada, akan mengamati tiga sila tambahan dengan penguatan ajaran ketiga akan mengamati selibat ketat.

Ajaran tambahan adalah:

6.                  Untuk menjauhkan diri dari mengambil makanan pada waktu yang tidak tepat. Ini berarti mengikuti tradisi bhikkhu Theravada dan tidak makan dari siang satu hari sampai matahari terbit berikutnya.

7.                  Untuk menjauhkan diri dari menari, menyanyi musik, dan hiburan serta menahan diri dari penggunaan parfum, ornamen dan barang-barang lain yang digunakan untuk menghiasi atau memperindah orang tersebut. Sekali lagi, ini dan aturan berikutnya.

8.                  Latihan untuk menjauhkan diri dari menggunakan tempat tidur yang tinggi atau mewah aturan teratur diadopsi oleh anggota Sangha dan diikuti oleh orang awam pada acara-acara khusus

           

Sikap Buddhis terhadap kekerasan, perang dan perdamaian. Buddha berkata di Dhammapada

* Kemenangan melahirkan kebencian. Yang kalah hidup dalam penderitaan. Untungnya dengan damai hidup menyerah kemenangan dan kekalahan (Dp.15, 5) dan.
* Kebencian tidak pernah berhenti oleh kebencian di dunia ini, melalui cinta saja mereka berhenti. Ini adalah hukum abadi. (Dp.1, 5)

Dalam kehidupan politik, Buddha juga mempunyai pengertian yang mendalam tentang politik, perang dan damai, Buddha bukan saja mengajarkan tentang kehidupan tanpa kekerasan dan perdamaian. Dalam hal ini beliau mengajarkan kepada kaum Vajji, dimana dalam kedamaian dan kesejahteraan dapat ditempuh dengan tujuh syarat oleh karena itu pada suatu ketika Beliau sendiri pergi ke medan perang dan menjadi penengah untuk menghindari peperangan.

Tujuh syarat kesejahteraan suatu bangsa itu sebagai berikut :

Ø     Melaksanakan musyawarah untuk mufakat, musyawarah untuk damai,

Ø     Menghormati dan menjunjung tinggi para pemuka agama yang baik

Ø     Menghormati dan menghargai para sesepuh masyarakat (orang tua)

Ø     Menghormati dan menghargai kitab suci baik agama sendiri maupun agama lain

Ø     Menghargai dan menghormati tempat-tempat ibadah baik agama sendiri maupun tempat ibadah agama lain

Ø     Menghargai dan menghormati kaum lemah (kaum Wanita).

Ø     Membuat undang-undang baru dengan tidak meninggalkan undang-undang yang sudah ada sepanjang masih relevan.

Dhammapada Syair, 5 & 201:

Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Tetapi, kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci. Inilah satu hukum abadi.

Kemenangan menimbulkan kebencian; dan yang kalah hidup dalam penderitaan. Setelah dapat melepaskan diri dari kemenangan dan kekalahan, orang yang penuh damai akan hidup bahagia.

Angguttara Nikaya IV, 41:

Setelah memahami pasang surutnya dunia.  Baginya tidak ada lagi gangguan di mana juga. Damai, tak marah, tak tertekan, tanpa-nafsu; Ia, Kukatakan, telah menyeberangi pantai seberang.

Sila sebagai dasar tingkah laku oleh masyarakat Buddhis dalam mewujudkan Perdamaian

Sila dalam masyarakat Buddhis merupakan hal yang mendasar yang harus dimiliki oleh setiap umat Buddha baik itu perumah tangga (gharavasa) seperti petani, pedagang nelayan, pegawai dan lain-lainya, maupun pabbajjita yaitu orang yang meninggalkan kehidupan rumah tangga (keduniawiaan) dan menjalankan hidup suci (brahmacari) untuk merealisasikan Nibbana. Sila adalah sikap batin atau kehendak yang tercetus sebagai ucapan benar, perbuatan benar dan penghidupan benar benar.

Hiri dan otapa pendukung  Perdamaian

Dalam agama Buddha ada faktor pendukung untuk dapat terlaksananya sila dengan baik, sehingga seseorang tidak melakukan perbuatan jahat atas dasar karena takut dari aturan suatu Negara dan sebagainya. Namun agama Buddha sudah menanamkan budaya malu untuk berbuat jahat dan takut akan akibat perbuatan jahat yang akan diterima bukan hanya dalam kehidupan sekarang melainkan juga dalam kehidupan yang akan datang. Buddha telah mengajarkan dalam Dasuttara Sutta yang terdapat dalam Digha Nikaya 34 sebagai berikut: Dalam hal ini, kawan-kawan seorang Bhikkhu berdiam dekat seorang guru atau seorang teman kehidupan suci yang menggantikan kedudukan guru, sehingga ia menjadi teguh dalam rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) takut akan akibat perbuatan jahat (ottapa), memiliki rasa hormat dan cinta kepada mereka. Inilah sebab pertama, kondisi  pertama yang membantu untuk memperoleh kebijaksanaan dalam unsur-unsur kehidupan suci yang belum diperoleh; untuk menambah, memperbanyak, mempertinggi, memperbesar, mengembangkan dan menyempurnakan apa yang telah dicapai.

Musyawarah salah satu cara menyelesaikan masalah yang timbul

Sebagai manusia yang mempunyai pemikiran dan wawasan serta analis yang tinggi dibandingkan makhluk lain, diharapkan tidak bosan dengan kata-kata dialog, dialog karya ataupun musyawarah.

Agama Buddha yang muncul di tengah-tengah masyarakat plural yang terdiri dari berbagai suku, ras dan kepercayaan lebih dari 2500 tahun yang lalu, sudah tentu banyak menghadapi beraneka ragam pula permasalahan yang timbul pada waktu itu. Untuk menyelesaikan masalah-salah yang timbul Buddha telah menemukan formula yang ampuh yang sampai sekarang metode itu masih dipakai dan sangat relevan dimasa seperti ini, metode tersebut adalah musyarawarah. Buddha telah mengajarkan tentang syarat-syarat kesejahteraan suatu bangsa kepada suku Vajji, kemudian suku Vajji melaksanakan syarat-syarat tersebut dengan baik dan benar maka terjadilah apa yang telah disampaikan Sang Buddha yaitu kesejahteraan dan kemakmuran didapat oleh suku Vajji sehingga keadaan tersebut dijadikan contoh oleh Buddha kepada bangsa-bangsa lain. Hal itu disampaikan kembali oleh Buddha kepada Bhikkhu Ananda di hadapan Brahmana Vaskara yang berkunsultasi kepada Buddha berkaitan dengan rencana penyerangan terhadap Negara tersebut. Sang Buddha menjelsakan demikian

DANDA VAGGA, 3; DHAMMAPADA; X : 131

          Barang siapa mencari kebahagiaan dari diri sendiri dengan jalan menganiyaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, maka setelah mati ia tidak akan memperoleh kebahagiaan (sorga)

BUDDHA VAGGA, 7; DHAMMAPADA XIV : 185

          Tidak menghina, tidak menyakiti, dapat mengendalikan diri sendiri sesuai dengan peraturan, memiliki sikap madya (seimbang) dalam hal makan, berdiam di tempat yang sunyi serta giat mengembangkan batin nan luhur; inilah ajaran Para Buddha”

HA VAGGA, 5; DHAMMAPADA XV : 201

          Kemenangan menimbulkan kebencian, dan yang kalah hidup dalam penderitaan.  Setelah dapat melepaskan diri dari kemenangan dan kekalahan, adalah orang yang penuh damai akan hidup bahagia”

Agama Buddha mengajarkan kepada umat manusia agar senantiasa menempatkan persatuan dan kesatuan bagi kepentingan dan keslamatan bangsa diatas kepentingan pribadi maupun golongan. Dalam Kitab Suci Sutta Pitaka : Brahmajala Sutta, Sang Buddha dilukiskan sebagai seorang yang cinta persatuan, seorang yang pemersatu dan yang selalu mengembangkan persahabatan. Ajaran mengenai persatuan dan kesatuan tersebut terdapat pada Culla Sila dalam Brahmajala Sutta yaitu : “Tidak memfitnah”.


Post a Comment

0 Comments