Kitab suci agama Buddha
Kitab Suci Agama Buddha adalah Tipitaka/Tripitaka. Tipitaka berasal dari bahasa Pali, sedangkan Tri pitaka berasal dari bahasa Sansekerta.Tipitaka terdiri atas tiga kelompok, yaitu:
1. Vinaya
Pitaka yang berisikan peraturan/tata-tertib
bagi para Bhikkhu/Bhikkhuni.
Vinaya Bhikkhu berjumlah 227 pasal, Bhikkhuni 311
pasal, Vinaya
Bhikshu 250, vinaya
bhiksuni ada 348 pasal
2. Sutta Pitaka yang berisikan khotbah-khotbah dan tanya jawab Buddha dengan para siswanya.
Dalam
Sutta Pitaka, tidak semua khotbah diberikan oleh Buddha sendiri, tetapi juga
merupakan khotbah dari beberapa siswanya.
3.
Abhidharma Pitaka berisi
ajaran tentang metafisika
dan ilmu kejiwan.
Abidhamma Pitaka
berisi uraian filsafat Buddha Dhamma yang disusun secara analitis dan
mencakup berbagai bidang, seperti: ilmu jiwa, logika,
etika dan metafisika.
Sejarah penulisan Kitab Suci Tri
Pitaka (sanghayana I – sanghayana III)
Dalam rangka menghimpun ajaran Buddha Gotama yang
akhirnya dibukukan menjadi Kitab Suci Tirpitaka dengan mengadakan Sidang Agung
Sangha yang dikenal dengan nama Sanghayana.
Sanghayana Pertama
Sidang Agung I
diadakan pada tahun 543
SM (3 bulan setelah bulan Mei) dan berlangsung selama 2
bulan. Sidang ini dipimpin oleh YA. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan
di Goa Satapani di kota Rajagaha.
Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.
Tujuan
dari sidang pertama ini adalah untuk menghimpun ajaran Sang Buddha yang
diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu
yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar ajaran Sang
Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali
mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Kesimpulan
dari sidang pertama ini adalah Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang
perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan
menambah apa-apa yang telah ada. Mengadili Y.A. Ananda. Mengucilkan Chana.
Agama Buddha masih utuh.
Sanghayana Kedua
Lebih kurang 100 tahun setelah Sanghayana Pertama,
diselenggarakan Sanghayana kedua
di Veluvanarama,
Vesali yang dipimpin oleh Y.A Yasa Thera dan dihadiri 700 Bhikkhu Arahat dan
selesai dalam waktu delapan bulan. Tujuannya adalah untuk membahas tuntutan
golongan Mahasangika untuk mengubah Vinaya yang dianggap terlalu keras.
Walaupun Buddha Gotama mengizinkan Sangha untuk mengubah Vinaya kecil, namun
beliau juga bersabda: “Jika Vinaya tidak dikurangi dan ditambah maka Sangha
akan hidup rukun dan tidak akan terpecah”. Tetapi, sekelompok Bhikkhu dari
Vesali telah mengubah beberapa peraturan yang dipandang sebagai peraturan
kecil.
Di dalam Cullavagga menyebutkan bahwa Y.A. Yasa Thera
ketika berada di Vesali mengetahui para Bhikkhu dari Vajji memiliki kebiasaan
melakukan 10 peraturan kecil(Dasavatthuni) yang jelas menyimpang dari Vinaya. Setelah
komisi yang terdiri atas delapan Thera tersebut mengucapkan ulang Vinaya,
mereka menyatakan bahwa 10 butir Vinaya yang dilakukan para Bhikkhu dari Vesali
merupakan penyimpangan. Sidang paripurna Sanghayana Kedua menyatakan bahwa
Bhikkhu-Bhikkhu dari Vesali yang melaksanakan 10 butir Vinaya tersebut telah
menyimpang dari Vinaya yang telah digariskan Buddha Gotama. Pada akhir
Sanghayana Kedua ini, para peserta yang terdiri atas 700 Bhikkhu bersama-sama
membaca ulang Dharma dan Vinaya.
Pada Sanghayana Kedua sekelompok Bhikkhu di bawah
pimpinan Bhikkhu Mahadeva menggugat otoritas para Arahat tersebut. Sekelompok
Bhikkhu tersebut berpendapat bahwa dalam menentukan Dharma dan Vinaya tidak
dibedakan antara Arahat dan bukan Arahat. Kelompok Bhikkhu yang menggugat
otoritas para Arahat jumlahnya cukup banyak akhirnya memisahkan diri dan
mengadakan Sanghayanasendiri. Kelompok ini menamakan diri dengan sebutan
kelompok besar (Mahasanghika). Sedangkan kelompok yang menganggap bahwa para
Arahatlah yang memiliki otoritas untuk menentukan Dharma dan Vinaya menyebut
dirinya sebagai Staviravada (Sansekkerta) atau Theravada (Pali). Pada
perkembangan selanjutnya, dua kelompok ini masing-masing terpecah lagi menjadi
sekte-sekte.
Sanghayana ketiga
Sanghayana Ketiga diselenggarakan di Asokarama,
Pataliputta lebih kurang 228 tahun setelah Sanghayana Pertama. Sanghayana
ketiga ini dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta Thera yang dihadiri 1000
Bhikkhu senior terpelajar dan ahli. Sanghayana Ketiga ini bertujuan menertibkan
beberapa perbedaan pendapat dalam Sangha serta memeriksa dan menyempurnakan
kembali Kitab Suci berbahasa Pali. Ajaran Abhidhammadiulang secara terinci dan
terpisah dengan Sutta.
Dharma dan Vinaya diucapkan ulang oleh 1000 Arahat dibawah pimpinan Y.A. Tissa Moggaliputta Thera. Kelompok Theravada akhirnya pecah menjadi Theravada dan Sarvastivada. Mazhab Mahasangika memisahkan diri ke Kashmir kemudian berkembang ke India Utara di bawah perlindungan Raja Kaniska. Moggalana Tissa menyusun kitab Kathavatthu yang merupakan bagian dari Kitab Abhidhamma. Inti pembicaraannya adalah menyangkal lima butir gugatan Bhikkhu Mahadeva terhadap para Arahat pada Sanghayana Kedua di Vesali berkenaan dengan perbedaan-perbedaan paham antar sekte agama Buddha.
Pada
Sanghayana Ketiga yang memakan waktu sembilan bulan itu telah berhasil menghimpun seluruh ajaran Buddha Gotama yang tersusun dalam Kitab Suci Tipitaka
terdiri atas Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka. Segera setelah
berakhirnya Sanghayana Ketiga ini, Maharaja Asoka Wardhana mengirim Dharmaduta
ke segala penjuru untuk menyebarkan Dharma. Di antaranya adalah Arahat Mahinda
Thera yang merupakan putra Raja Asoka sendiri, membawa Kitab Suci Tipitaka dan
Kitab Tipitaka Atthakatha ke Sri Lanka
0 Comments